The Salesman (2016), Permainan Alegori Asghar Farhadi



Satu lagi karya monumental seorang Asghar Farhadi setelah film lainnya yaitu “A Separation” (2011) yang juga memenangkan “Best Foreign Language” dalam ajang bergengsi Piala Oscar. The Salesman adalah pencapaian lain Farhadi yang juga begitu humanis, sarat kritik sosial, serta mampu meracik dengan sangat apik kondisi psikis para karakternya.

Film yang berdurasi 125 menit ini memang layak diganjar Piala Oscar dalam perhelatannya ke 84 sebagai “Best Foreign Language”, selain itu The Salesman juga meraih penghargaan di Festival Film Cannes 2016 dalam kategori Best Actor: Shahab Hosseini dan Best Screenplay: Asghar Farhadi. The Salesman memiliki judul asli Forushande (2016), Perancis menyebut film ini “Le Client”, di Hungary film ini berjudul “Az ügyfél” , Di negara Polandia berjudul “Klient” serta di negara Rusia film ini berjudul “Коммивояжер“.

Perpaduan teknik ramuan ala Hitchcock untuk suspense dan Ibsen untuk atmosfer realisme agaknya menjadi kekuatan Asghar Farhadi dalam menciptakan film ini. Penonton dibawa ke dalam sebuah “alam alegori” di mana pertunjukan Arthur Miller “Death of A Salesman” berjalan berkelindan dengan kenyataan kehidupan pasangan suami istri tersebut. “Death of A Salesman” merupakan teater karya Arthur Miller (seorang penulis sandiwara panggung, esai dan buku dari Amerika Serikat) yang menceritakan kehidupan keluarga salesman bernama Willy Loman, istrinya Linda, kedua anaknya Biff dan Happy Loman beserta tetangga mereka. Pementasan Emad dan Rana dalam melakonkan Willy dan Linda menjadi sebuah alegori di sepanjang filmnya.

Film produksi Memento ini sedikit mengingatkan akan “Crime and Punishment”-nya Dostoyevski, di mana tragedi itu bermula saat Rana sedang sendirian di apartemen barunya. Rana membukakan pintu ketika “tamu tak diundang” bertandang ke rumahnya. Dia mengira itu adalah suaminya. Dia pun diserang dan diperkosa dalam kamar mandi, namun uniknya, adegan tersebut digambarkan secara tersirat. Emad yang kemudian pulang terkejut bukan main melihat darah berceceran di dalam rumahnya dan tak menemukan di mana Rana berada. Setelah mendapatkan informasi dari tetangganya, Emad pun kemudian pergi ke rumah sakit dan terkejut melihat Rana dalam kondisi yang memprihatinkan.

Setelah malam tragedi itu Rana menjadi pribadi yang labil, depresi, dan penuh traumatis. Sedang Emad terhanyut dalam kemelutnya sendiri, mencari pelakunya. Beberapa kali pasangan ini terlibat pertengkaran dan emosi yang menguras jiwa sampai pada akhirnya Emad pun mendapatkan titik terang. Saya merasa perlu memberi acungan jempol kepada dua pemain utama ini. Apa yang mereka lakonkan cukup mampu meyakinkan penonton bahwa masalah mereka begitu kompleks dan mendalam. Guncangan psikis Rana dan dendam membara di dalam jiwa Emad adalah bidikan Farhadi atas kasus kriminal serupa di dunia nyata. Konflik batin Emad antara ingin membalas dendam di satu sisi dan ingin memaafkan sang pelaku di sisi lain adalah titik dimana film ini mencapai klimaksnya. Farhadi membungkusnya dengan sangat manusiawi sekaligus menarik. Juga ketika adegan beralih ke dalam sebuah pertunjukkan teater. Lakon yang Emad dan Rana bawakan ketika mementaskan “Death of A Salesman” begitu apik dan sarat makna.

Belum afdol rasanya jika tak membahas soal sinematografi dan efek visual. Ya, aspek ini pun menurut saya sudah melebihi dari standar yang ada. Sewaktu kamera mengambil gambar panggung teater sangat begitu dramatis, intim sekaligus puitis. Juga ketika malam tragedi itu berlangsung. Pergerakan kamera membuat teka-teki tentang siapa pelakunya menjadi sangat misterius.
Iran boleh berbangga hati, salah satu sineasnya mampu melangkah sejauh ini. The Salesman merupakan bukti bahwa film Asia selalu mempunyai “power” dan kekhasannya sendiri.

Post a Comment

0 Comments