Beberapa Hal yang Perlu Kamu Ketahui tentang Film “Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak” (2017)



Setelah melewati beberapa penilaian dan kriteria ketat yang ditetapkan oleh Komite Seleksi Film Indonesia, Film "Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak" terpilih untuk diikutsertakan dalam perhelatan terbesar di jagad perfilman dunia yaitu ajang Academy Awards (Oscar) 2019 yang akan digelar pada bulan Februari 2019 di Dolby Theatre Los Angeles Amerika Serikat. Marlina akan mewakili film Indonesia di kategori Film Berbahasa Asing terbaik atau Best Foreign Film.

Christine Hakim sebagai Ketua Komite Seleksi Film Indonesia pada Selasa tanggal 18 September kemarin mengatakan bahwa keputusan itu telah diambil sesuai dengan pedoman Foreign Languange 2018 serta regulasi dari Academy of Motion Pictures Arts and Sciences (AMPAS). Marlina menyalip film Sekala Niskala dan Pai Kau yang juga mendapat nilai tinggi. Mengingat hanya satu film saja yang bisa menjadi perwakilan sebuah negara, Marlina dinilai menjadi pilihan terbaik oleh banyak orang baik dari kalangan filmmaker, sineas, pemerhati film, cinephile, dan para kritikus film Indonesia.

Aspek apa saja sih yang membuat film ini begitu istimewa? Yuk, kita simak bareng-bareng!

Mouly Surya




Marlina merupakan mahakarya Mouly Surya, seorang sutradara wanita kelahiran 1980 yang sudah malang melintang di dunia perfilman Indonesia, sebut saja film "Fiksi" (2008) yang berhasil meraih piala citra untuk kategori Best Feature Film, Best Director, Best Music and Best Original Screenplay dan Director Award. Pada tahun 2013 Mouly kembali menggebrak lewat film "What They Don't Talk About When They Talk About Love" menjadi film pertama karya sineas Indonesia yang ikut serta dalam Sundance Film Festival 2103. Tak hanya itu, film tersebut menyabet penghargaan untuk kategori Best Music in Asia Pacific Film Festival 2103 dan Best New Director in Las Palmas Film Festival di Spanyol. Marlina adalah film keempat Mouly Surya yang disebut-sebut sebagai pionir genre Satay Western di Indonesia.

Satay Western


Ingatkah kalian kepada genre Spaghetti Western dari Italia yang dipopulerkan oleh seorang Sergio Leone pada era 1960-an? Yup, jika Italia menggunakan istilah Spaghetti Western pada film-film yang bermuatan penuh laga, adegan kekerasan, ambiguitas moral dan menonjolkan tampilan-tampilan dekil koboi-koboinya, maka Indonesia punya Satay Western yang tak kalah eksotis dan mempunyai elemen-elemen khasnya yang unik. Marlina adalah sebuah film yang mengetengahkan perjuangan seorang perempuan Sumba yang digencet dominasi patriarki kaum pria. Berlatar padang gersang dataran Sumba yang sunyi namun mencekam, Marlina melawan dominasi itu sembari terus melaju menanyakan keadilan dan kesetaraan bagi dirinya selaku perempuan yang ditindas.

Empat Babak yang Memesona


Seperti judulnya, film ini terbagi menjadi empat bagian yaitu: The Robbery, The Journey, The Confession, dan The Birth. The Robbery menjadi awal mula permasalahan kisah Marlina, seorang janda yang didatangi sekawanan perampok dan dirampas hak-haknya. The Journey, perjalanan Marlina sambil menenteng kepala perampok menembus gersangnya padang Sumba demi menyerahkannya kepada pihak berwajib. Ia kadang berjalan, menaiki truk dan menunggang kuda. The Conffession, sebuah kritik sosial bagaimana wajah hukum di negara kita. The Birth, penutup yang powerful, penuh makna sekaligus menegaskan kekuatan sejati seorang perempuan.



Sinematografi, Bahasa dan Akting 


Pulau Sumba Nusa Tenggara Timur menjadi pilihan setting terciptanya film yang fenomenal ini. Lanskap padang sabana yang luas serta eksotis jarang ditemukan di belahan lain di dunia. Selain itu Sumba juga terkenal dengan warisan megalitiknya, tenun ikat, rumah adatnya dan budaya menunggang kuda yang disebut dengan Pasola. Elemen ini menjadi pondasi utama yang menjadikan film ini kuat secara sinematografi. Lewat tangan dingin Yunus Pasolang, sinematografi film ini menjadi ciamik bersinergi dengan iringan musik karya Zeke Khaseli dan Yudhi Arfani. Film ini juga bisa disebut bergaya art-house di mana banyak bagian disajikan secara long-shot dan plot yang lebih lambat dari film biasanya. Marsha Timothy yang berperan sebagai Marlina membuktikan bahwa dirinya mampu menjadi aktris yang mumpuni dan berkelas. Ia bahkan dinilai fasih dan berhasil tatkala dialog demi dialognya dilakukan dalam dialek Sumba. Tak sia-sia ia harus belajar bahasa selama tiga bulan dan mengobservasi kehidupan masyarakat Sumba secara langsung. Marsha piawai memerankan sosok Marlina tanpa terjebak menjadi sosok yang overact. Ekspresinya begitu subtil namun kokoh. Ada kekuatan dalam diamnya, ada sisi feminin dalam setiap aksi kerasnya.

Feminisme


Feminisme adalah sebuah gerakan/konsep yang memperjuangkan kesetaran perempuan dalam politik, budaya, ekonomi, pendidikan, ruang publik dan ruang pribadi. Gerakan feminis mulai bergema sejak akhir abad ke-18. Gerakan ini  menolak patriarki dan memperjuangkan keadilan serta hak-hak bagi perempuan. Film “Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak” disebut-sebut sebagai perayaan feminisme bagi seorang Mouly Surya. Gambaran Marlina yang hanya dijadikan konco wingking dan pelayan pria mencoba disuguhkan Mouly menjadi menu pembuka. Character development (perkembangan karakter) Marlina babak demi babak semakin menegaskan bahwa muatan feminisme dalam film ini sungguh kental pun dialog-dialognya. Seperti contohnya ketika Marlina dan temannya Novi berbincang ketika sedang buang air kecil, lazimnya kita tahu yang sering melakukan ini adalah para pria.



Lewat Marlina, Mouly Surya menancapkan standar dan warna baru bagi dunia perfilman Indonesia juga dunia. Pergelaran Oscar memang masih lama, namun tentunya kita selalu mendukung dan berharap yang terbaik agar sinema Indonesia harum di kancah internasional. Bravo Marlina!

Post a Comment

0 Comments