Padman, Pahlawan Super dari India yang Mendobrak Tabu

Foto: businessinsider.com

Jika Amerika punya Ironman, Batman, Spiderman, Jepang punya  Onepunchman, China punya Pandaman, dan Malaysia punya Cicakman, maka India punya Padman. Ya, India punya seorang pria yang sangat peduli dengan persoalan kesehatan sanitasi wanita. Film rilisan 2018 yang diangkat berdasarkan kisah nyata ini dibintangi oleh Akhsay Kumar, Radhika Apte, Sonam Kapoor, dan Amitabh Bachan.
Adalah sebuah buku berjudul The Sanitary Man of Sacred Land karya Twinkle Khanna, di dalamnya ada sebuah cerita pendek berjudul “The Legend of Lakshmi Prasad”. Cerita biografi tersebut terinspirasi dari kisah nyata Arunachalam Muruganantham, aktivis asal India yang mempunyai misi menyediakan pembalut yang berbiaya rendah bagi para perempuan desa. Pada tahun 2015, saat Twinkle Kanna melakukan penelitian untuk kolum “The Times of India” ia mendapat gagasan untuk mengadaptasi kisah Murugan tersebut. Kisah inspiratif itulah yang diangkat sutradara R. Balki dalam film Padman.
Film Padman menceritakan seorang suami bernama Lakshmi yang baru saja menikah dengan Gayatri. Pada awal kehidupan rumah tangga mereka, Lakshmi merasa kaget mengetahui bahwa selama ini, ada sebentuk “istiadat” yang kurang berkenan di hatinya yaitu ketika seorang perempuan sedang datang bulan, mereka diharuskan berada di luar, seolah datang bulan adalah sesuatu yang menjijikkan. Selain itu, yang mengusik hati Lakshmi adalah ketika Gayatri mengenakan selembar kain yang dipakainya setiap kali haid (menstruasi). Dari situlah konflik dalam film ini bermula. Lakshmi berinisiatif untuk membelikan pembalut untuk istri tercintanya. Alih-alih menerima dengan senang hati karena suami mau membelikan pembalut untuk dirinya, Gayatri justu menolak pemberian istimewa sang suami karena harganya yang terlampau mahal.
Foto: vishvagujarat.in

Tak cukup sampai di situ, Lakshmi justru semakin penasaran mencari jalan agar istrinya tak perlu lagi menggunakan kain yang belum tentu bersih dan higienis. Tujuan Lakshmi sebenarnya sungguh mulia dan sederhana, hanya ingin melindungi istrinya dari berbagai macam penyakit yang berhubungan dengan masalah kesehatan sanitasi perempuan. Namun, meski semulia apapun tujuan Lakshmi, persoalan higiene menstrual perempuan adalah hal yang tabu untuk menjadi urusan laki-laki. Gayatri beberapa kali pun mengatakan bahwa bagi seorang perempuan, lebih baik mati karena sakit daripada menanggung malu.
Tak patah arang, Lakshmi pun tetap mencoba membuat pembalut dengan menggunakan bahan seadanya yaitu dengan kapas curah dan beberapa kain kassa yang ia ujicobakan kepada istrinya, namun hasilnya masih gagal. Kegagalan demi kegagalan mendera Lakshmi. Meski hiperbolis, namun adegan Lakshmi sewaktu menguji pembalut buatannya sendiri dengan menggunakan darah kambing sungguh mengocok perut.
Usaha keras Lakshmi pun membawanya sampai ke kampus medis dan beberapa warga desa berkasak-kusuk bahwa Lakshmi main serong dengan seorang mahasiswi. Lakshmi tak peduli, ia menawarkan pembalut buatannya kepada wanita-wanita desa dan juga kepada seorang gadis yang baru menginjak masa pubertas, setiap kali ia tawarkan setiap kali pula ia dipandang cabul dan gila. Sampai pada suatu titik di mana Lakshmi dipaksa untuk bercerai dengan istrinya, demi menyelamatkan istrinya dari rasa malu, Lakshmi pun pergi dari desa sambil tetap membawa rasa penasaran bagaimana caranya bisa membuat pembalut yang bisa diterima masyarakat desanya.
Perjuangan Lakshmi tak pernah surut, terbukti ia pun diterima bekerja dan menumpang di sebuah rumah milik seorang professor dan dengan dibantu oleh seorang anak profesor tersebut, Lakshmi mendapat sebuah sampel serat selulosa yang kelak membuka jalan dirinya untuk bertemu dengan Pari, seorang penyanyi sekaligus mahasiswi cerdas yang membantu Lakshmi berinovasi membuat mesin pembuat pembalut.
Berbicara mengenai India dan wanita memang seakan tak pernah ada habisnya, India memang dikenal sebagai negara berperingkat pertama di dunia dalam hal perlakuan buruk terhadap wanita. Menurut data dari film tersebut, dalam satu milyar penduduk negara India, 98% wanitanya belum tergerak untuk memakai ‘pembalut’ (Pad) pada waktu mengalami siklus bulanan. Fakta ini tak hanya membuat dunia terkejut, akan tetapi juga membuka mata kita bahwa persoalan kesehatan dan kebersihan wanita di India masih sangat jauh untuk bisa dikatakan maju. Film ini seakan menjadi medium yang berperan cukup efektif dalam edukasi seputar permasalahan kesehatan sanitasi wanita sekaligus menentang stigma yang selama ini melekat bahwa wanita yang sedang haid perlu dijauhi karena kotor.
Penokohan Lakshmi yang polos, pantang menyerah, dan sedikit konyol diperankan secara baik oleh Akhsay Kumar sehingga membuat film yang berdurasi dua jam ini menjadi hidup dan berwarna, Radhika Apte yang berperan sebagai seorang istri yang kolot dan tradisionil juga terasa pas serta tak lupa Sonam Kapoor yang memerankan tokoh Pari yang mandiri, cerdas, dan penuh kepedulian.
Namun sayangnya, film ini masih belum bisa lepas dari “pakem” film India lainnya yang selalu menyelipkan adegan bernyanyi dan berjoget ria di dalam filmnya.
Lantas, apakah film ini menyelipkan isu feminisme? Jawabannya bisa iya dan tidak. Sang filmmaker R. Balki lewat sebuah surat kabar terbitan Hindustan mengatakan bahwa tanpa ditegaskan dengan segala macam teori kesetaraan gender dan woman-centric pun, karakter seorang perempuan tetaplah kuat dan agung. Menurut Balki, sebagian wanita berpikir terbuka, lantang menyuarakan pendapat dan progresif, sementara pada sebagian lain mungkin tidak, namun tetaplah dalam hatinya ada keinginan untuk terus maju dan memperbaiki diri.
Jika konsep feminisme mengacu pada bagaimana sikap karakter wanita di film ini dalam usaha untuk mandiri dan tidak bergantung pada pria maka memang sejatinya ada beberapa bagian yang menyinggungnya. Pada beberapa bagian di film ini memang mengangkat perihal pemberdayaan perempuan, yaitu pada saat produk Lakshmi mulai diproduksi dalam jumlah yang banyak, beberapa tenaga kerja yang direkrut adalah perempuan. Produk pembalut yang dibuat Lakshmi dikerjakan oleh wanita dan ditujukan pula bagi wanita. Juga pada saat Pari pada akhirnya tegas dengan keputusannya di akhir cerita.
Foto: indiatoday.in

Terlepas dari banyak tidaknya muatan feminisme dalam film Padman, film ini layak diapresiasi dengan baik karena tak hanya memberikan hiburan semata, namun juga pelajaran, motivasi serta inspirasi yang berharga.
 [Prof. Tejas Walia] “We can truly enjoy fatherhood only by becoming the mother. Just like, we can truly enjoy being man only by keeping our feminine side alive.”

Post a Comment

0 Comments